Oleh Ismatillah A. Nu’ad

Gerakan fundamentalisme Islam, khususnya di Indonesia dengan stigma seperti literalis, radikalis dan ekstremis yang pernah menghiasi soal-soal kebangsaan pasca-Tragedi 11 September agak mulai meredup. Begitu pula, wacana-wacana opini publik dan pemberitaan media seputar gerakan fundamentalisme kurang mendapatkan perhatian. Namun apakah fenomena itu menjadi pertanda bahwa gerakan-gerakan semacam itu sudah berakhir?
Pada 29 Juli 2004 Jaringan Islam Liberal (JIL) mengadakan diskusi dengan tema ”gerakan fundamentalisme dan radikalisme di negara-negara Islam” dengan menghadirkan pembicara Ihsan Ali-Fauzi, mahasiswa doktoral Ohio University dan Khursid Ahmed seorang intelektual muslim-liberal asal Pakistan. Salah satu kesimpulannya mengungkapkan bahwa gerakan fundamentalisme dan radikalisme di Indonesia akan kembali memanas. Meredupnya gerakan itu saat ini karena tergeser oleh isu-isu politik, terutama di masa pemilu legislatif/presiden.

Nanti setelah pemilu selesai, gerakan fundamentalisme sudah dapat dipastikan kembali menghiasi dalam wacana kebangsaan, terkait belum selesainya agenda krusial mereka seperti hendak memperjuangkan isu-isu syari’at Islam, penegakan khilafah dan sebagainya. Bertolak dari fenomena itu, posisi negara terhadap gerakan fundamentalisme kemungkinan besar bersikap represif. Konflik sosial-kebangsaan antara ”negara vis-a-vis gerakan fundamentalisme” tak terelakkan lagi.
Ada beberapa tesis mengapa negara akan represif terhadap gerakan fundamentalisme. Pertama dari segi internal, karena kepentingan negara yang berbau-bau ”sekularisasi”, liberalisasi dan sebagainya akan direcoki dengan gerakan fundamentalisme yang menolak secara mentah-mentah kepentingan negara. Gerakan fundamentalisme menganggap negara harus mengakomodasi sebesar mungkin kepentingan umat Islam (jika perlu ditegakkannya syari’at Islam semi otonom) dengan penafsiran Islam versi mereka. Kedua secara eksternal, yaitu karena negara berhadapan dengan ‘kompromi’ kekuatan-kekuatan kapitalisme dan liberalisme global yang mengharap negara domestik dapat meredam aksi-aksi gerakan fundamentalisme yang merugikan dan membahayakan bagi kepentingan kekuatan kapitalisme-liberalisme.

Islam-Indonesia Bercorak Moderat
Yang terakhir disebutkan, setidaknya fenomena-fenomena seperti penahanan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir, kemudian banyak penafsiran mayoritas dengan pretensi bahwa negara telah terkooptasi dengan kepentingan asing.
Begitu pula dengan ”represifnya” negara (atau dalam hal itu diwakili oleh aparat keamanan) terhadap gerakan-gerakan seperti Front Pembela Islam (FPI), kelompok ”Jema’at Islamiyah” yang disinyalir sebagai jaringan fundamentalisme dan teroris di Asia Tenggara, dan sebagainya.
Menurut Khursid Ahmed, selain gerakan fundamentalisme ini dituangkan dalam ekspresi ‘gerakan radikalisme’ seperti fenomena MMI, FPI atau JI itu. Gerakan ini juga menuangkannya dalam dua aspek penting lainnya, yaitu ke aspek dakwah dan politik.
Sebagai contoh, fenomena munculnya gerakan dakwah seperti Hizbut Tahrir yang membentuk opini publik supaya negara mempertimbangkan tatanan pemerintahan khilafah di mana isu-isu syari’at Islam ada di dalamnya tentu saja sudah menjadi bagian dari gerakan fundamentalisme.
Begitu pula fenomena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memperjuangkan Islam untuk masuk dalam wilayah keputusan dan kebijakan negara lewat cara-cara seperti yang diistilahkan Bill Liddle bersifat rigid, puritan dan naif, itu pun juga termasuk dalam kategori gerakan fundamentalisme.
Dua fenomena itu menurut Khursid Ahmed, juga terjadi di negaranya Pakistan. Dalam dataran itu, gerakan ini menghendaki supaya Islam sebagai agama dijadikan sebagai tatanan kenegaraan dan kebangsaan. Begitu pula, Islam dianggap oleh gerakan ini sebagai jalan keluar (way of life) atas kondisi persoalan-persoalan absurd yang dihasilkan negara, tentu saja dengan penafsiran Islam yang literal, ortodoktif, dogmatis, sakral dan sebagainya.
Menurut Imdadun Rahmat, warna keberagamaan (Islam) yang ”khas” dalam masyarakat Indonesia tengah menghadapi gugatan dengan hadirnya gerakan fundamentalisme ini.
Pemahaman keagamaan mainstream yang dianut mayoritas muslim dinilai bukan merupakan pemahaman Islam yang benar, karena telah mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial-politik lokal.
Mainstream keagamaan yang dianut secara mayoritas itu juga dianggap berbeda dengan Islam yang ideal. Pendeknya menurut gerakan fundamentalis, otentisitas Islam di Indonesia hilang, dan oleh karenanya perlu purifisme Islam, sistem Islam (nizam al-Islam) dan sebagainya.
Fenomena Muslim Kota
Sebaliknya menurut Imdadun, gerakan fundamentalis pun bukan tradisi asli keberislaman di Indonesia, karena Islam-Indonesia bercorak moderat, toleran dan sebagainya. Maka darinya, perlu ada reinterpretasi terhadap keberislaman lokal apa yang kemudian disebut dengan ”Pribumisasi Islam”. Islam pribumi menurut Imdadun mempunyai karakteristik seperti kontekstual dalam menafsir Islam, menghargai tradisi, progresif dan membebaskan, dan sebaliknya muslim-pribumi tidak menggunakan cara-cara kekerasan, toleran, pluralis dan sebagainya. (M. Imdadun Rahmat et al., Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, 2003).
Dalam beberapa asumsi, gerakan fundamentalisme ternyata merupakan fenomena muslim kota, yang pemahamannya tidak diresapi sebagaimana kalangan santri di pedesaan yang bergelut hampir setiap hari dengan tradisi intelektualitas Islam, sehingga Islam bukan sesuatu yang unik dan asing. Muslim kota pada dasarnya memahami Islam pada batas-batas tertentu dalam dataran simbolitas-identitas privat semata. Sementara dalam kesehariannya jarang bersentuhan secara intens dengan dunia intelektualitas Islam, seperti membincang persoalan fiqh. Islam muncul ke permukaan di wilayah muslim kota setelah wacana-wacana religiositas yang ditawarkan lewat dakwah tv.
Disadari atau tidak, lambat laun semua fenomena itu memunculkan potensi-potensi seperti dogmatisme-literalisme, radikalisme dan ekstremisme yang akhirnya mencuat ke permukaan. Fenomena itu lahir dari gerakan fundamentalisme dengan geneologi yang disebutkan. Secara tidak langsung gerakan ini pada akhirnya akan mengusik ”ketenangan” otoritas negara. Posisi negara bagaimanapun akan merasa gerah dengan pertumbuhan gerakan ini, baik secara struktural atau apalagi secara kultural.
Negara akan menganggap bahwa bagaimanapun republik ini berdiri di atas kepentingan banyak orang. Dan oleh karenanya, keinginan komunal yang hendak mengkooptasikannya ke dalam kepentingan universal apalagi dengan cara-cara radikal atau ekstrem, berarti akan berhadapan dengan negara itu sendiri. Dengan demikian, tak syak lagi gerakan fundamentalisme ke depan akan berhadapan dengan represifnya negara.

Penulis adalah editor Islamic Millennium Forum for Peace and Social Justice, Mahasiswa Jurusan Teologi dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.